Senin, 03 Agustus 2009

Gerobak Keliling : Mengganggu atau Ditunggu?




Hampir setiap sudut jalan kita akan dengan mudah menemukan gerobak keliling yang menjual aneka makanan dari siomay, batagor, bakso, soto mie, cendol, es doger, dan sebagainya. Beragam cemilan tersebut memang menggoda perut di kala perut keroncongan atau hanya sekedar lapar mata belaka. Mereka selalu hadir di tempat yang ramai, dari di pasar, depan perkantoran, pertokoan, sekolah, dan kampus. Di pinggir jalan kita juga akan dengan mudah menemukan mereka, bahkan kurang dari 1 km, kita dapat menemukan beberapa pedagang makanan gerobak keliling.
Keberadaan mereka antara suka dan duka. Antara mengganggu dan ditunggu. Gerobak keliling yang menjadi sandaran hidup keluarga terkadang mengganggu arus lalu lintas jalan raya. Selain itu, keberadaan mereka dinilai merusak pemandangan karena memakan tempat yang tidak sedikit hampir di setiap sudut jalan.
Padahal di sisi lain, gerobak makanan keliling memiliki nilai positif lebih banyak. Kala di rumah sedang tidak ada makanan atau sedang ingin ngemil, gerobak keliling yang biasa mangkal di dekat rumah menjadi alternarif selain delivery fast food. Dibandingkan dengan fast food, makanan gerobak memiliki lebih banyak nilai positif. Fast food lebih mahal, mengandung kalori lebih tinggi, menambah pulsa telephon, dan menambah emisi gas CO yang akan dihasilkan dari motor delivery fast food.
Makanan gerobak memang mengandung lebih rendah kalori dibandingkan dengan fast food. Untuk menjaga kesehatan, kita perlu mengurangi konsumsi fast food. Negara Paman Sama saja sebagai pelopor fast food , sudah mulai marak mengurangi akibat berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan seperti obesitas dan darah tinggi yang bahkan anak-anak pun sudah mulai terjangkit. Seperempat dari jumlah anak-anak berusia 6-11 tahun di Amerika menderita obesitas.
Hal paling penting dari semuanya adalah sebuah data yang mengungkapkan bahwa gerobak makanan keliling juga memegang peranan penting dalam perekonomian daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Paguyuban Pedagang Mi dan Bakso Megapolitan Indonesia (Paguyuban Miso Indonesia), pada 2006, dari 48,9 juta usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia, 20 % atau sekitar 10 juta di antaranya adalah pedagang mi bakso. Data tersebut baru menunjukkan mi bakso, belum dengan makanan lainnya. Akan lebih baik kalau adanya sosialisasi para pedagang agar lebih terarah dan tertata rapi. Dengan mengkonsumsi makanan ciri khas Indonesia, kita juga turut mengembangkan gastronomi bangsa tercinta kita. Jadi, bagaimana? Mi, bakso, batagor, siomay, cendol, dan es doger, memang lebih maknyuuuuuus, kan?